Kamis, 15 November 2012

Review Novel Kerudung Merah Kirmizi


KERUDUNG MERAH KIRMIZI



Judul Buku                : Kerudung Merah Kirmizi
Penulis                        : Remy Sylado
Penerbit                      : Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal                          : 616
ISBN                           : 9799023726


Dalam novel Kerudung Merah Kirmizi ini kita dibawa ke  dalam kehidupan nyata sehari-hari yang   sering  kita  alami. Terlihat  jelas  bahwa Remy ingin mengatakan dengan jujur bahwa peristiwa  yang  terjadi  adalah  hal  biasa yang  sering  dialami  oleh  semua orang .  Dengan mengambil tema cinta biasa , Remy ingin  memberi kepada pembaca sebuah cerita sederhana yang“biasa” dan apa adanya.

Dengan  latar sosial kehidupan reformasi yang kekinian Remy ingin memberikan sindiran pada tata kehidupan saat ini, dimana banyak orang berharap adanya perubahan prilaku, tabiat dan kebiasaan lampau yang kotor dan penuh dengan kebiasaan-kebiasaan korupsi sedangkan tanpa sadar kita semua tejebak untuk melestarikan dan melakukan hal itu pula.

Remy ingin pembaca menilai bahwa perubahan itu adalah hal yang di idamkan oleh banyak kalayak. Dia juga ingin memberi kesan bahwa kebobrokan rezim tidak serta merta menyeret seluruh manusia yang ada dalam system itu ikut bobrok dan kotor. Hal ini digambarkannya dalam karakter Winata sebagai polisi yang sanggup bertindak dan berbuat benar sesuai dengan sumpahnya sebagai abdi negara.
Tetapi Remy tidak selamanya bisa mempertahankan alur yang mempesona itu terus-menerus. Pada akhirnya dia terenggah-enggah dan terjebak dalam ketidak wajaran karena harus terpaksa atau memaksakan diri untuk memberikan kritik-kritiknya. Sehingga pada akhirnya alur yang terjalin terlihat seperti pussle yang jelas guratan-guratan batas antara tema cinta dan tema sosial. Bahkan pada akhirnya harus dikatakan cinta yang dibangun oleh Remy lewat tokoh-tokohnya seperti khayalan anak-anak ABG yang selalu menuntut kondisi happy ending dalam setiap penyelesaian konflik, bahkan cinta Myrna dan Luc Sondak hanyalah seperti cerita roman picisan ataupun kalau ditulis dengan serius terlihats seperti novel yang ditulis oleh penulis pemula yang selalu ingin menyenangkan pembacanya, hampir persis dengan alur cerita-cerita sinetron yang ironisnya juga dikritik oleh Remy. Selain karakter-karakter yang dia bangun harus terus jalin melindan seperti rotan yang tidak pernah terjamah manusia di hutan belukar yang lebat. Serba kebetulan. Si A kenal dengan Si B yang kebetulan Keponakan Si C yang ternyata juga adik dari Si C dst-dst.
Kritik Remy juga terkesan asbun alias asal bunyi, tanpa kewajaran dan penuh pemaksaan. Hal ini tidak sulit kita temui, bagaimana seorang “bu Purwo” perempuan yang digambarkan norak-pesolek dan mata duitan harus mengkritik rupiah yang terseok-seok terhadap kuatnya dollar, dan hal ini terlihat waktu memeras Om Sam? Bagi kita, melihat tokoh dengan karakter seperti itu-mata duitan dan sangat senang dengan penderitaan orang lain- yang penting toh tetap nilai duitnya, bukan karena rupiah atau dollar.
Ketidakwajaran terus saja menjalari ritme novel ini, apalagi pada puncak konflik yang terbangun, bagaimana Om Sam yang digambarkan sangat berkuasa pada awal cerita harus kehabisan amunisi dan harus membuang mayat Dela sendirian dan untuk itu dia harus bertemu dengan Martinus Noya-si pembuat bom, yang akhirnya harus membuat berpuluh bom di Bali, setelah mendapat-maaf-pantat si Om. Kelucuan yang tidak wajar terlihat jelas disini, sekali lagi dengan kaliber kejahatan seperti Om Sam, dengan konyolnya dia harus membuang mayat Dela dengan menggunakan sebuah feri penyeberangan Merak-Bakauheni. Tidak usah tokoh sekaliber Om Sam, seorang preman kampung pun tidak akan dengan bodohnya membuang mayat ke laut dengan menumpang sebuah feri penyeberangan. Dengan kekayaan yang melimpah tidak sulit seharusnya om Sam menyewa sebuah kapal, bahkan seharusnya dia pun harusnya juga memilikinya seperti trend orang-orang kaya Jakarta sekarang. Ada juga seorang tokoh LSM-Emha Isa Ibrahim yang lolos dari pembunuhan yang dirancang Om Sam. Hanya ngumpet dan tidak berani keluar dari tempat persembunyiaannya, tanpa sekalipun berusaha menghubungi teman-temannya. Padahal kita tahu bahwa tokoh-tokoh LSM  dan  pergerakan  selalu  mengandalkan  jaringan  yang  luas  untuk   menghadapi Kekuatan senjata dan kekuasaan yang otoriter.

Kelebihan dalam novel ini yaitu judul, pengarang, penerbit, tahun terbit, halaman isi. Dan adapula sinopsis dan biodata pengarang. Sehingga dalam hal ini pembaca dengan mudah mengetahui apa judulnya, siapa pengarang dan penerbitnya, kapan tahun terbitnya.

Kekurangan dalam novel ini adalah dari bahasa nya ada sedikit yang saya tidak mengerti dan mungkin pembaca lain juga ada yang tidak mengerti arti dari bahasa tersebut.

Kritik dan saran :
Perwujudan citra wanita yang ditampilkan dalam novel Kerudung Merah Kirmizi yang meliputi citra wanita sebagai orang tua tunggal yang masih merupakan beban berat oleh sebagian wanita sebagai single parent. Citra wanita sebagai seorang janda yang harus bekerja atau mencari nafkah guna mencukupi kebutuhan keluarga, mengharuskan mereka menjadi ibu sekaligus ayah karena menjadi tulang punggung keluarga. Citra wanita sebagai seorang yang aktif dalam bidang seni/sastra bahwasannya banyak wanita kini yang tertarik pada dunia seni bahkan terjun langsung dalam bidang seni yang kebanyakan digeluti oleh laki-laki. Citra wanita sebagai seorang yang melakukan tindakan kriminal yaitu aborsi. Citra wanita ini merupakan suatu gambaran buram mengenai wanita di masyarakat yang sangat memprihatinkan sehingga perlu mendapat perhatian yang khusus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar