KERUDUNG
MERAH KIRMIZI
Judul
Buku :
Kerudung Merah Kirmizi
Penulis : Remy Sylado
Penerbit :
Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal :
616
ISBN :
9799023726
Dalam novel Kerudung Merah Kirmizi
ini kita dibawa ke dalam kehidupan nyata
sehari-hari yang sering kita
alami. Terlihat jelas bahwa Remy ingin mengatakan dengan jujur bahwa
peristiwa yang terjadi adalah hal
biasa yang sering dialami
oleh semua orang . Dengan mengambil tema cinta biasa , Remy ingin
memberi kepada pembaca sebuah cerita
sederhana yang“biasa” dan apa adanya.
Dengan latar sosial kehidupan reformasi yang
kekinian Remy ingin memberikan sindiran pada tata kehidupan saat ini, dimana
banyak orang berharap adanya perubahan prilaku, tabiat dan kebiasaan lampau
yang kotor dan penuh dengan kebiasaan-kebiasaan korupsi sedangkan tanpa sadar
kita semua tejebak untuk melestarikan dan melakukan hal itu pula.
Remy ingin
pembaca menilai bahwa perubahan itu adalah hal yang di idamkan oleh banyak
kalayak. Dia juga ingin memberi kesan bahwa kebobrokan rezim tidak serta merta
menyeret seluruh manusia yang ada dalam system itu ikut bobrok dan kotor. Hal
ini digambarkannya dalam karakter Winata sebagai polisi yang sanggup bertindak
dan berbuat benar sesuai dengan sumpahnya sebagai abdi negara.
Tetapi Remy
tidak selamanya bisa mempertahankan alur yang mempesona itu terus-menerus. Pada
akhirnya dia terenggah-enggah dan terjebak dalam ketidak wajaran karena harus
terpaksa atau memaksakan diri untuk memberikan kritik-kritiknya. Sehingga pada
akhirnya alur yang terjalin terlihat seperti pussle yang jelas guratan-guratan
batas antara tema cinta dan tema sosial. Bahkan pada akhirnya harus dikatakan
cinta yang dibangun oleh Remy lewat tokoh-tokohnya seperti khayalan anak-anak
ABG yang selalu menuntut kondisi happy ending dalam setiap penyelesaian
konflik, bahkan cinta Myrna dan Luc Sondak hanyalah seperti cerita roman
picisan ataupun kalau ditulis dengan serius terlihats seperti novel yang
ditulis oleh penulis pemula yang selalu ingin menyenangkan pembacanya, hampir
persis dengan alur cerita-cerita sinetron yang ironisnya juga dikritik oleh
Remy. Selain karakter-karakter yang dia bangun harus terus jalin melindan
seperti rotan yang tidak pernah terjamah manusia di hutan belukar yang lebat.
Serba kebetulan. Si A kenal dengan Si B yang kebetulan Keponakan Si C yang
ternyata juga adik dari Si C dst-dst.
Kritik Remy
juga terkesan asbun alias asal bunyi, tanpa kewajaran dan penuh pemaksaan. Hal
ini tidak sulit kita temui, bagaimana seorang “bu Purwo” perempuan yang
digambarkan norak-pesolek dan mata duitan harus mengkritik rupiah yang
terseok-seok terhadap kuatnya dollar, dan hal ini terlihat waktu memeras Om
Sam? Bagi kita, melihat tokoh dengan karakter seperti itu-mata duitan dan
sangat senang dengan penderitaan orang lain- yang penting toh tetap nilai
duitnya, bukan karena rupiah atau dollar.
Ketidakwajaran terus saja menjalari ritme novel ini,
apalagi pada puncak konflik yang terbangun, bagaimana Om Sam yang digambarkan
sangat berkuasa pada awal cerita harus kehabisan amunisi dan harus membuang
mayat Dela sendirian dan untuk itu dia harus bertemu dengan Martinus Noya-si
pembuat bom, yang akhirnya harus membuat berpuluh bom di Bali, setelah
mendapat-maaf-pantat si Om. Kelucuan yang tidak wajar terlihat jelas disini,
sekali lagi dengan kaliber kejahatan seperti Om Sam, dengan konyolnya dia harus
membuang mayat Dela dengan menggunakan sebuah feri penyeberangan
Merak-Bakauheni. Tidak usah tokoh sekaliber Om Sam, seorang preman kampung pun
tidak akan dengan bodohnya membuang mayat ke laut dengan menumpang sebuah feri
penyeberangan. Dengan kekayaan yang melimpah tidak sulit seharusnya om Sam
menyewa sebuah kapal, bahkan seharusnya dia pun harusnya juga memilikinya
seperti trend orang-orang kaya Jakarta sekarang. Ada juga seorang tokoh LSM-Emha
Isa Ibrahim yang lolos dari pembunuhan yang dirancang Om Sam. Hanya ngumpet dan
tidak berani keluar dari tempat persembunyiaannya, tanpa sekalipun berusaha
menghubungi teman-temannya. Padahal kita tahu bahwa tokoh-tokoh LSM dan
pergerakan selalu mengandalkan
jaringan yang luas
untuk menghadapi Kekuatan
senjata dan kekuasaan yang otoriter.
Kelebihan dalam novel ini yaitu judul, pengarang, penerbit, tahun terbit, halaman isi. Dan adapula sinopsis dan biodata pengarang. Sehingga dalam hal ini pembaca dengan mudah mengetahui apa judulnya, siapa pengarang dan penerbitnya, kapan tahun terbitnya.
Kekurangan dalam novel ini adalah
dari bahasa nya ada sedikit yang saya tidak mengerti dan mungkin pembaca lain
juga ada yang tidak mengerti arti dari bahasa tersebut.
Kritik dan
saran :
Perwujudan citra wanita
yang ditampilkan dalam novel Kerudung
Merah Kirmizi yang meliputi citra wanita sebagai orang tua tunggal yang
masih merupakan beban berat oleh sebagian wanita sebagai single parent.
Citra wanita sebagai seorang janda yang harus bekerja atau mencari nafkah guna
mencukupi kebutuhan keluarga, mengharuskan mereka menjadi ibu sekaligus ayah
karena menjadi tulang punggung keluarga. Citra wanita sebagai seorang yang
aktif dalam bidang seni/sastra bahwasannya banyak wanita kini yang tertarik
pada dunia seni bahkan terjun langsung dalam bidang seni yang kebanyakan
digeluti oleh laki-laki. Citra wanita sebagai seorang yang melakukan tindakan
kriminal yaitu aborsi. Citra wanita ini merupakan suatu gambaran buram mengenai
wanita di masyarakat yang sangat memprihatinkan sehingga perlu mendapat
perhatian yang khusus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar